Selasa, 15 Mei 2012

Kyai Abdul Hamid - Pasuruan


H. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang,Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuhPesantren Salafiyah, Pasuruan

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga olehkeluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya.Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak danistrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah,sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamidlahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah,pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara,lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudarakandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim,Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masihhidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.

Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiahseorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulamadi Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. AhmadShiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatanyang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranyayang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anakkeempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umursembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua,untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, KiaiHamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil,sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya.Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaumsufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orangtertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secaranyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalianseseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama diLasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar dipesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahunkemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersamakeluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindahke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desasekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannyasebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudahcukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi.Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulamaterkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” MenurutIdris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukanbobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman.Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersamaorangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengantekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar diPasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H.Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak,satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup,yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak denganmudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumahyang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari iamengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker)sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong,Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisahyang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mauakur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama,Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamidmerasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara.Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelahbayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya barubeberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ketempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan,seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinyaselama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikianrupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yangmengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga,ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapatcobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”,katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. MenutIdris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya.Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewatketeladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untukhal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajarmenyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lainyang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membacaal-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitumereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya kepesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberipengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti.Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke babberikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dandiajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkanadalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karyaImam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukanilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantrensalafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal denganspesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat(gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagaisuatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah limawaktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengankegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikutioleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecualikepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu,khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggusekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh olehpengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Merekatidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember,bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkanadalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiappengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagaiteladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita.Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imamAl-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayahal-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak duniasama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez,tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannyacukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaianmaupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihanpakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah.“Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kalikepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang sukamengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekangnafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahuitu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamidmemakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O,rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli rotidalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminyakulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti.Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. AbdulHamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus.Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akanmenghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memangselalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yangterbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) sepertidianjurkan Nabi.

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapatmenyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa.Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan olehsiapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamidterbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenaikepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalambentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilahAbdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secaralebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial KiaiHamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang“egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasalepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosialislam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meskitidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepadakeluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya.Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetanggaterdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secararutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untukmengawinkan atau mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwabila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP.10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan haridi mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelahmenunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagailayaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakatfitri.

Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dantetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dansarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainyadari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurangdari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah dibulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauhakan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri darisikap sosialnya yang kuat.

Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yangtinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri danadik iparnya, “Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid.”Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling keMushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang- biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Disamping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehinggamembuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yangmengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangatdiseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orangmengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.

Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah oranglain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahanterhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk berceritamengenai yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yangmembuatmu gundah,” desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telahberkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelahdibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakanmasalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.

Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekuranganuang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid.Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untukmaksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain seringdihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik hajiatas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.

Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri ataudirenovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat,kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsairenovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama initak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uangdari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masingpanitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.

Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengankomitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yangsederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watakkepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidakmenonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikandiri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yangsuaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi disitulah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar JawaTimur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan KiaiHamid.


Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmudi Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahirdengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah hajiyang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi,memanggilnya dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah(Ayah),” katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu.Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkankitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yangberisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliauadalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakanmengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lainmenyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.


 Salah satu karomah Kyai Hamid


Di dunia ini tidak sedikit orang yang beranggapan alam gaib itu tidaklah ada. Meski demikian, ada pula orang yang percaya, akan tetapi kepercayaan mereka cuma sekedar tahu saja, tidak ada pemantapan hingga seratus persen. Lain halnya dengan orang Islam yang memang benar-benar yakin dengan rukun iman yang nomor enam, yakni percaya kepada qodo’ dan qodar atau ketetapan-ketetapan Allah, baik yang buruk maupun yang baik. Memang sangat sulit sekali meyakini barang yang tidak ada wujudnya, tetapi kita sebagai umat Islam wajib hukumnya percaya seratus persen dengan adanya alam ghaib itu ada.

Dalam al-Qur’an dijelaskan:
“لا يعلم الغائب الا لل”"
Yang artinya: “Tidak ada yang mengetahui barang gaib kecuali Allah SWT”
Meskipun demikian, anda jangan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Memang dalam ayat tersebut al-qur’an menjelaskan sedemikian rupa, akan tetapi para ulama ahli tafsir sepakat bahwa, ada orang-orang tertentu (kekasih Allah) di dunia ini yang memang di izini atau diberi tahu oleh Allah SWT dalam masalah kegaiban tersebut. Contohnya adalah cerita kiai Hamid.
Alkisah, dahulu ada santri yang bernama Ihsan, Ia adalah salah satu khadam (pembantu kiai) yang paling dekat dengan kiai Hamid. Bahkan setiap malam, Ihsan di suruh tidur di ruang tamu kiai Hamid.
Selain terkenal akan tawadhu’ dan kewaliannya. Kiai kelahiran kota Lasem tersebut juga terkenal akan keistiqomahan dalam ibadahnya. Setiap malam beliau tidak pernah meninggalkan qiyamu al-lail (shalat Tahajjud). Pada suatu malam tepatnya pukul 00.00 Istiwa’, setelah melakukan shalat Tahajjud kiai Hamid membangunkan Ihsan. “Ihsan…Ihsan… tangio nak!” ( Ihsan…Ihsan… bangunlah nak! ) begitulah cara halus kiai Hamid ketika membangunkan santrinya. Ihsan pun bangun, sambil mengucek-ucek matanya Ia berkata “Wonten nopo kiai?” (Ada apa kiai?) tanya Ihsan. “Awak mu sa’iki sembayango teros lek mari moco al-Fatihah ping 100, maringono lek wes mari awakmu metuo nang ngarepe gang pondok, delo’en onok opo nang kono.” (Sekarang kamu shalat, lalu sesudahnya kamu baca surat al-Fatihah sampai 100 kali, kalau sudah selesai kamu keluarlah ke gang pondok, lihatlah ada apa di sana.) Perintah kiai Hamid. “inggeh kiai” jawab singkat sang santri. Ia pun langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudlu’.
Singkat cerita setelah Ihsan membaca surat al-Fatihah, ia lalu keluar dari gang pondok tepatnya di jalan Jawa, atau yang sekarang namanya berubah menjadi Jl. KH. Abdul Hamid. Pada waktu Ihsan keluar dari pondok, jarum jam kala itu menunjukkan tepat pukul 01.00 dini hari.
Nyanyian jangkrik senantiasa mengiri langkah kaki Ihsan. terangnya sinar rembulan menjadi penerang jalannya. Sesampainya di Jalan Jawa, Ihsan melihat ada mobil dari arah barat. Lalu mobil tersebut berhenti tepat di depannya. Kaca mobil tersebut terbuka, “Ihsan lapo bengi-bengi nang kene?” (Ihsan mau apa malam-malam kok di sini) begitulah suara yang keluar dari dalam mobil tersebut. Karena lampu dalam mobil tidak dihidupkan, Ihsan pun tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara dengannya. Ihsan pun masih tercengang dan kebingungan suara siapakah itu. Akhirnya pintu mobil itu pun terbuka dan yang keluar adalah Ibu Nyai Hj. Nafisah Ahmad, istri hiai Hamid. Ternyata yang ada di dalam mobil tersebut adalah rombongan Ibu Nyai Hj. Nafisah yang datang dari Jakarta. Ihsan masih belum menjawab pertanyaan yang tadi.
Yo wes ketepaan lek ngono tolong gowokno barang-barange sing nang njero montor, mesisan ambek barange bojone Man Aqib.” (Ya sudah kebetulan, kalau begitu tolong bawakan barang-barang yang ada di dalam mobil, sekalian dengan barangnya istrinya Paman Aqib) perintah Ibu Nyai Nafisah. Tanpa pikir panjang Ihsan pun langsung menurunkan semua barang yang ada di dalam mobil.
Setelah semua barang sudah di bawa ke pondok, Ihsan lalu masuk ke dalam ndalem kiai Hamid. Tak lama kemudian kiai Hamid datang kepada Ihsan. “yok opo San? pas yo! Iku mau pas aku sembayang, malaikat Jibril teko nang aku nyampekno salam teko Allah. Ambek ngandani lek bojoku teko jam siji bengi. San, bener nang al-Qur’an dijelasno, lek gak ono sopo wae sing weroh ambek barang ghoib, yo contone koyok kejadian iku mau iku termasuk ghoib. Cuman Allah SWT iku ngidzini utowo ngewenehi weroh barang sing goib marang uwong sing dicintai ambek gusti Allah.” (Bagaimana San? Pas kan! Itu tadi waktu aku shalat, malaikat Jibril datang menyampaikan salam dari Allah, dan memberi tahu kalau istriku akan datang jam satu malam. San, benar di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwasannya tidak ada siapa pun yang mengetahui tentang masalah gaib. Ya, contohnya kejadian tadi itu termasuk gaib. Cuma Allah SWT itu memberi idzin atau memberi tahu barang gaib kepada hamba yang dicintainya) jelas kiai Hamid. Setelah menjelaskan kejadian tersebut, kiai Hamid langsung masuk ke dalam. Sedangkan Ihsan masih tercengang dan merasa kagum kepada kiai Hamid.
Tidaklah ada kalimat yang pantas ketika kita melihat atau mendengar kejadian yang menakjubkan dari Allah SWT, malainkan kata “Subhanalloh…!” (zEn)
Sumber: KH. Ihsan Ponco Kusumo-Malang

Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani



Nama lengkap beliau adalah Abu Soleh Muyhidin Abdul Qadir bin Musa Aljaelani Alhasani Alhuseini , dilahirkan di suatu tempat bernama “JAELAN” pada tanggal 1 romadhon tahun 471 H suatu daerah yang terletak dibagian luar dari negeri THABARISTAN. Beliau masih ada nasab dengan Rosululloh SAW.Beliau sejak muda gemar menuntut ilmu diantara guru-guru beliau adalah Syeck Abi al wafa’ , Syeck Abil Khaththab al kalwadzani, dan Syeck Abil Husein Abu ya’la, dan masih banyak guru-guru lainnya . Syech Abdul Qodir Al jaelani dengan penuh jeripayah berusaha memperoleh ilmu -ilmu agama seperti ilmu Fiqh, ilmu adad, ilmu thoriqoh sehingga dirinya menyebabkan menjadi seorang yang a’lim .
Beliau selalu dalam keadaan suci ( mempunyai wudhu terus) mengerjakan sholat subuh masih menggunakan wudhu’ yang diambil ketika hendak mengerjakan sholat isya’. Apabila berhadast maka beliau cepet-cepat mengambil air wudhu’. Setiap malam sehabis sholat isya hingga menjelang sholat subuh waktu nya dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT dengan memperbanyak dzikir, tafakkur dan bertawajjuh kehadiratNYa. Sehingga beliau kurang tidur. Bagi beliau mempunyai pendirian hidup yang selalu didasarkan kepada tuntunan ajaran islam, beliau lebih suka makam rumput yang halal dari pada roti yang diperoleh dengan jalan Syubhat(samar) ini sikap kehati-hatian terhadap kehidupan dunia ini terutama terhadap benda apa saja yang syubhat kedudukannya apalagi terhadap benda yang jelas-jelas haram hukumnya.

1. Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syech Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara Sufi di padang pasir Irak dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Diceritakan dalam kitab Manakib Syeck Abdul qodir al jalelani bahwa beliau melihat Cahaya agung yang memenuhi ufuk dan dari balik cahaya itu kemudian keluarlah sebuah gambaran tubuh ,lalu terdengar lah suara memanggil beliau: “Hai Abdul Qodir …!! Akulah Tuhan Mu !! sekarang aku nyatakan kepadamu bahwa semua yang haram aku halalkan padamu.” Maka berkatalah Syeck Abdul Qodir Al Jaelani :”aku berlindung kepada Alloh Dari syaithon yang terkutuk”, kemudian beliau ditanya,”Dari manakah kamu mengetahui bahwa dia aku ini syaithon…? Beliau menjawab dari perkataanmu “Telah aku halalkan yang haram padamu.”sebab aku (Syeck Abdul Qodir Al jaelani) tahu bahwa Alloh tidak pernah memerintahkan untuk berbuat kejahatan.”

2. Dikisahkan pula pada saat ibunya sudah berusia 60 tahun. Kemudian setelah ia menanjak ke masa remaja, ia pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Syechk Abdul Qodir muda untuk memulai pencarian ilmunya. Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Syeck Abdul Qodir, dan bertanya, “Apa yang engkau punya?” Syeck Abdul Qodir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuranSyeck Abdul Qodir, kemudian ia pun melapor pada pemimpinnya. Sang pemimpin rampok pun segera menghampiri Syeck Abdul Qodir dan menggeledah bajunya. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Terheran-heran kepala rampok itu lalu berkata kepada Syeck Abdul Qodir: “Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?” MakaSyeck Abdul Qodir pun menjawab: “Aku telah dipesan oleh ibuku untuk selalu berkata jujur dan tidak boleh berbohong . Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan ibuku ” Sejenak kepala rampok itu tertegun dan merenung dengan jawaban syeck Abdul Qodir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.” Kemudian ia serahkan kembali uang itu padaSyeck Abdul Qodir dan melepaskannya pergi. sejak saat ituKepala perampok beserta anak buahnya diberi Hidayah Oleh Alloh SWTdan bertaubat untuk tidak melakukan perbuatan merampok lagi.

3. Dan diantara Karomah Syeck Abdul Qodir Al Jaelani yang di terangkan dalam kitab Lubabul ma’ni, pernah ada seorang wanita berkunjung kepada Syeck Abdul Qodir Al jaelani dengan membawa anaknya agar berguru kepadanya, kemudian diperintahkan agar ia bermujahadah dan menlajani cara-cara hidup nya para ulama shalapus sholeh, lalu pada suatu saat wanita tadi melihat anaknya sangat kurus dan mengetahui anaknya makan roti yang basi dan buruk dan ketika wanita itu masuk ketempat Syeck Abdul Qodir Al jaelani dilihatnya ada tulang-tulang ayam bekas dimakan daging-dagingnya, maka wanita itu menanyakan tentang hal itu, kemudain Syeck Abdul qodir Al jaelani meletakkan tangannya diatas tulang-tulang ayam itu seraya berkata ” Bangkitlah dengan izin Alloh yang telah mengidupkan tulang-tulang yang telah hancur.” Makabangkitlah tualng-tulang itu menjadi ayam kembali seraya berkokok” laa ilaha illalloh muhammad rosululloh syeck abdul qodir waliyulloh..”
Peristiwa ini adalah merupakan Khoriqul ‘adat (diluar kebiasaan ) atau karomah yang diberikan Alloh SWT kepada wali-wali alloh, meskipun demikian itu menurut akal manusia biasa digambarkan sebagi suatu kejadian yang sama sekali tidak dapat diterima oleh oleh akal itu sendiri , akan tetapi bagaimana pun kenyataan peristiwa itu membuat akal manusia menjadi sadar untuk berkesimpulan betapa besar kekuasaan Alloh.

Foto-foto Eksklusif Peninggalan Rasulullah S.A.W


a
 
Bila kita berjauh jarak dengan sang terkasih Muhammad Rasulullah. Kita hanya bisa menjumpainya melalui do’a-do’a yang kita lantunkan, memohon syafa’at Nabi untuk keselamatan kita di akhirat dari pedihnya adzab neraka, tidakkah foto-foto berikut ini mengobati kerinduan kita yang sangat dalam kepada Sang Nabi Tercinta, Kekasih Allah, pribadi mulia panutan alam?? Ratusan orang meneteskan air matanya setelah menatap langsung baju beliau yang bersahaja dan sudah robek, sandal beliau, keranda beliau yang tak terhalang apapun. Allahu Akbar … serasa dekaaat denganmu ya Rasulullah … Andai aku bisa melihat wajahmu, rontok segala persendianku, tak tahan dengan kenikmatan memandang kemuliaan wajahmu… Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad ….
(Foto-foto ini kebanyakan adalah koleksi yang tersimpan dari berbagai tempat di beberapa negara: Museum Topkapy di Istambul Turki, Yordania, Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Selamat merasakan kelezatan menatap peninggalan-peninggalan ini. Semoga kerinduan kita semakin memuncak kepada sang Nabi Agung, sang kekasih Allah …)
Allahumma shalli ‘ala sayyidina wa maulana Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam …
__________________________

a
the-blessed-shirt-of-prophet-muhammad-saw
The Blessed Shirt of Prophet Muhammad SAW (Baju gamis Nabi SAW yang lusuh dan robek-robek. Yaa Allah … betapa sederhananya baju sang pemimpin dunia yang suci nan agung ..!!)
a
the-blessed-shirt1-of-prophet-muhammad-saw
The Blessed Shirt of Prophet Muhammad SAW (Bagian dari baju gamis Nabi SAW yang sudah sobek)
a
jubah-rasulullah1
Jubah Nabi Muhammad, Rasulullah SAW
a
blessed-seal-of-rasool-allah-saw1
The Blessed Seal of Rasulullah SAW (Cap surat Nabi SAW)
a
copy-of-the-blessed-bowl-of-prophet-muhammad-saw
Mangkuk tempat minum Rasulullah SAW
picture1.jpg
Kunci Ka’bah Masa Nabi Muhammad SAW

a

the-blessed-foot-print-of-rasool-allah-saw
jejak-kaki-nabi
Jejak Kaki Rasulullah SAW

a
blessed-hair-of-rasool-allahsaw

rambut-nabi
Beberapa helai rambut Rasulullah SAW

a

gigi-dan-rambut1
Peninggalan gigi dan rambut Nabi. Itu giginya jelas ya?
a


Wadah Kotak Gigi Rasulullah SAW
a



picture4.jpg
pedang2-nabi-dengan-nama-namanya1
pedang2-nabi-dengan-nama-namanya2
pedang2-nabi-dengan-nama-namanya
Berbagai pedang yang pernah dimiliki Nabi dengan nama-namanya yang digunakan untuk menegakkan ajaran tauhid, ketika orang-orang kafir memerangi Nabi dan dakwahnya sehingga harus mengangkat pedang.

a

Gagang Pedang “Hatf” Nabi SAW tampak lebih jelasa

busur-panah-nabi
aBusur Panah Nabi SAW
a
a

Bendera Rasululullah SAW

a
Ini lebih jelasnya.
aa


Salah satu sorban/tutup kepala  Rasulullah SAW
a

Topi Besi Rasulullah SAW
a

Baju dan barang-barang Rasulullah SAW


blessed-sandals2-of-rasool-allah-saw
blessed-sandal-of-rasool-allah-saw

Sandal-sandal (terumpah) peninggalan Rasulullah SAW tercinta …
a

letter-to-nijashi-king-of-habsha
Surat Nabi SAW kepada Raja Nijashi, Raja Habsyah
a

letter-to-omani-people
Surat Nabi SAW kepada rakyat Oman, Arab Selatan
a

letter-to-qaiser_e_rome
Surat Nabi SAW kepada Kaisar Romawi abad ke- 7
a

Surat Rasulullah SAW pada Raja Heraclius
a
prophets-letter-to-muqauqas-egypt
Surat Nabi SAW kepada Raja Muqauqas, Mesir
a

Makan Siti Aminah, Ibunda Rasululllah SAW


box-belonging-to-hazrat-fatima-rz
Kotak milik putri tercinta Nabi SAW, Sayyidah Fatimah Az-Zahra R.A.

a
picture6.jpg
PINTU EMAS MAKAM NABI MUHAMMAD SAW

Silsilah Nabi Muhammad S.A.W